Bagi para petualang, Soe Hok Gie dan Norman Edwin bukanlah nama yang asing. Nama mereka masih terus disebut oleh para penyuka olahraga yang memompa adrenalin—naik gunung, panjat tebing, arung jeram, susur gua, dll.—meskipun kedua dedengkot dunia petualangan Indonesia itu sudah lama berpulang. Gie meninggal tahun 1969 di Gunung Semeru dan Norman Edwin meninggal tahun 1992 di Aconcagua, Pegunungan Andes, Argentina.
Mengapa nama Norman Edwin dan Soe Hok Gie masih begitu populer hingga saat ini? Jawabannya adalah karena mereka menulis. Selama hidup mereka tak bosan-bosan menuliskan apa yang ada dalam pikiran mereka. Selain itu mereka rajin pula menulis catatan perjalanan.
Gie dikenal melalui catatan hariannya, yang diisi sang petualang sejak ia masih sangat belia, yakni 15 tahun. Mulai usia itu sampai beberapa waktu sebelum nyawanya direnggut gas beracun Gunung Semeru, Gie konsisten menulis catatan harian dua kali sehari, yakni pagi dan malam sebelum tidur. Tanggal dalam akun terakhirnya adalah 10 Desember 1969, enam hari sebelum kematiannya.

Catatan hariannya tak hanya berisi cerita sehari-hari. Ia juga menuliskan tentang kehidupannya sebagai mahasiswa, termasuk tentang perjuangannya menggulingkan sebuah tirani. Membaca catatan Gie, mau tak mau kita akan terharu mendapati bahwa sejak dulu, dari mulai masa penjajahan, Orde Baru, sampai sekarang, mahasiswa memang memegang peranan yang begitu penting.
Gie tak hanya menulis di buku harian. Ia juga melemparkan gagasannya ke berbagai media cetak; Soe Hok Gie menjadi aktivis yang dikenal luas pada masanya. Oleh karena itu, kematian yang mendadak menghampiri tak serta merta membuatnya juga mendadak dilupakan. Ia terus abadi dalam ingatan banyak orang.
Berbeda dari Soe Hok Gie yang meninggal saat mendaki Gunung Semeru, Norman Edwin menghela napas terakhir dalam pelukan Devil’s Wind di Gunung Aconcagua, Amerika Selatan, dalam ekspedisi ke puncak kelima dari rencana pendakian Seven Summits. Ia ditemukan meninggal bersama rekannya, Didiek Samsu, hanya sekitar 200 meter dari Puncak Aconcagua.
Sejak menggeluti dunia tulis-menulis, Norman Edwin memang memilih bidang yang amat spesifik sebagai topik tulisan, laporan, dan ulasannya, yakni petualangan. Ia selalu menuangkan apa yang ia lihat dan rasakan—dan, bila perlu, mengakrabinya.
Selama kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran Bandung dan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, lelaki berdarah Palembang dan Cirebon ini tergolong tertib dan rapi dalam mendokumentasikan catatan dan bahan kuliah. Kebiasaan itulah modal utama yang membuatnya jadi penulis tangguh, logis, dan akurat, dengan gaya tulisan populer dan bebas.
Norman tak hanya menceritakan petualangannya saja namun selalu menyertakan informasi lengkap yang ditulis dengan manis. Gaya tulisan Norman terbilang unik, jujur, tegas, terbuka, dan berani. Norman selalu menuliskan kejujuran, meski terkadang kontroversial. Ia tak peduli tulisannya itu akan membikin panas telinga beberapa pihak. Namun itulah yang justru mematangkannya.
Sampai saat ini, Gie dan Norman adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia petualangan Indonesia. Bagi siapa pun yang senang mendaki gunung atau mendedikasikan diri dalam kegiatan alam bebas, mereka adalah tokoh-tokoh yang—lewat tulisan-tulisan yang menggugah dan memberi manfaat pada banyak orang—mampu memberikan suntikan semangat luar biasa untuk bertualang.
Mereka pergi sebagai petualang yang abadi lewat tulisan-tulisannya, diantar oleh angin gunung yang begitu keras namun sangat mereka cintai.
Bang, ada link beberapa tulisannya Norman ga? Atau rekomendasi buku karya Norman.?
Coba googling untuk artikel dan rekomendasi buku kak.