Work hard, play hard. Itulah satu adagium terkenal yang sering kita dengar. Maknanya, selain bekerja keras, kita juga perlu sering bermain. Tujuannya agar hidup bisa seimbang.

Itulah yang membuat saya berencana mendaki, tentunya setelah urusan pokok yang lain selesai. Dan kali ini sasaran main saya adalah Tolangi Balease, gunung kelima yang saya daki di Sulawesi Selatan.
Datang seorang diri dari Jakarta, saya menemukan partner pendakian dari media sosial semalam sebelum keberangkatan. Namanya Yeyen, pemuda baik hati berumur 18 tahun, berasal dari Kelompok Pecinta Alam Skala di Luwu Utara yang sedang tinggal di Makassar.
Singkat cerita, kami berdua berangkat menuju luwu utara menggunakan bus Mega Mas dengan tarif 150 ribu. Busnya besar, ber-AC, dan sangat nyaman.
Setelah berkendara semalam, subuh kami tiba di Bonebone. Selanjutnya kami berjalan sejauh 2 km menuju rumah juru kunci bernama Pak Nasaruddin yang sangat baik hati. Tak ada perizinan dan biaya khusus di sini alias gratis. Kami hanya perlu melapor ke kepala desa.
Mendaki Balease bisa dimulai dari Dusun Ulusalu, Desa Bantimurung, Kec. Bonebone, Kab. Luwu utara. Tolangi berada di rangkaian Pegunungan Korue, jantung Sulawesi. Membujur-melintang di perbatasan Sulawesi Selatan-Sulawesi Tengah menjadikannya relatif tak jauh dari Danau Poso.

Tolangi Balease dikenal tersulit di Sulawesi Selatan
Tolangi Balease. Gunungnya memang tak setinggi Latimojong sebagai salah satu tujuh puncak tertinggi Indonesia. Tapi, soal grade, Balease dikenal tersulit di Sulawesi Selatan bersama Gandang Dewata di Pegunungan Quarles yang kini memisahkan diri menjadi Provinsi Sulawesi Barat. Karakteristiknya hampir sama: hutan lumut, punggungan, penyeberangan sungai, pacet, trek panjang, dan relatif jarang didaki.


Banyak tantangan mendaki Buyu (yang berarti gunung) Tolangi Balease. Pertama, titik start pendakiannya sangat rendah, hanya sekitar 25 mdpl sebagaimana ditunjukkan GPS di ponsel android saya. Karena lokasi dusun terakhir sebenarnya tak jauh dari Teluk Bone, suhu panas dan udara lembap menjadi ancaman dehidrasi. Pendakian dua hari pertama dijamin bermandi peluh dan boros minum.
Kedua, keterbatasan sumber air yang hanya tersedia di Pos 3 dan Lembah Waru yang berada di antara Puncak Tolangi (3016 mdpl) dan Puncak Balease (2894 mdpl). Selain bekal, kami optimalkan tampungan air hujan pada botol-botol bekas di beberapa pos. Pendaki sebaiknya tidak mengandalkan tampungan botol ini karena tidak selalu ada, apalagi musim kemarau.
Ketiga, panjangnya jalur pendakian, yakni sejauh 50 km pulang pergi, yang terbagi menjadi tujuh pos! Kami menghabiskan waktu 8 hari 7 malam pergi-pulang Puncak Tolangi. Jika hendak menggapai Puncak Balease, diperlukan waktu tambahan sehari lagi.
Badan kami menjadi tempat pacet berpesta
Perjalanan panjang dimulai. Setelah berpamitan dengan Pak Nas, kami menyusuri jalan kampung hingga tiba di mulut sungai jernih dan lebar.
Di awal pendakian, medannya adalah kebun, sawah, dan penyeberangan sungai besar empat kali. Sesampai di Air Terjun Bantimurung di pintu rimba, medan berubah jadi hutan lebat yang didominasi punggungan. Tak lupa kami mengisi air di air terjun, masing-masing 7 liter. Osprey saya terasa sesak—terlebih logistik kami persiapkan untuk 10 hari.

Dengan beban berat, kami berjalan tertatih. Jalur licin, becek, dan banyak duri. Pacet berpesta, badan kami menjadi sasaran. Pacetnya memang tidak sebesar di Bukit Raya Kalimantan, tapi jumlahnya banyak sekali dan ada satu jenis yang dijuluki pacet tentara karena warnanya yang loreng-loreng bak seragam militer.
Hujan yang turun bikin pendakian hari pertama itu tambah sulit. Akhirnya, perjalanan hari ke-1 berhenti di Pos 1, di titik ketinggian 800 mdpl. Malam itu terasa panas, kami tidur tanpa sleeping bag.

Hari ke-2, perjalanan masih dengan medan yang sama. Punggungan, hutan duri dan rotan, pacet dan becek. Hujan kembali turun. Tapi kami memilih meneruskan perjalanan dengan memakai jas hujan. Sembari mengecek GPS, perjalanan kami relatif terbantu dengan stringline yang dipasang pendaki lain. Hari itu, kami bermalam di antara Pos 2 dan Pos 3, mendirikan tenda di bawah guyuran hujan deras.
Memasuki hutan lumut

Hari ke-3, kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki hutan lumut. Matahari masih malu-malu menunjukkan sinarnya. Hutan lebat Balease membuat sinar matahari relatif sedikit menembus tanah.
Kami berjalan perlahan, menikmati setiap tanjakan dan suara erangan tanda kelelahan. Hari hampir gelap, namun Pos 4 tempat kami berencana bermalam tak kunjung kelihatan. Akhirnya kami bermalam di antara Pos 3 dan 4—dan, lagi-lagi, hujan!
Hari ke-4, kami mengawali pagi dengan memakai baju, celana, sepatu dan tas gunung yang basah. Rasanya dingin dan malas, tapi kami harus terus bergerak. Setelah pemanasan sebentar, perjalanan dilanjutkan dengan bersemangat.
Tak terasa Pos 4 terlewati, artinya kami sudah berada di atas ketinggian 2000 mdpl. Selepas itu, perjalanan menuju Pos 5 cukup jauh dan terasa lama. Kami berdua terus meniti punggungan, berkelit dan menyelinap di antara pohon cantigi dan lumut.
Hujan kembali turun pukul 17.00. Masalahnya, tak ada tempat berkemah. Punggungan sangat sempit dan terlalu terbuka, sementara hujan dan angin cukup kencang. Kami terus berjalan hingga malam tiba.

Pukul 18.00, kami tak kunjung sampai di Pos 5. Kami berembug dan sepakat memaksakan diri menuju Pos 5 karena lokasi kamp di sana cukup terlindung. Setelah menembus gelap dan dingin, akhirnya kami sampai di Pos 5. Ternyata Pos 5 hanya cukup memuat dua tenda. Sangat sempit. Tapi kami bersyukur tiba di sini.
Berkemah di puncak
Di bawah guyuran hujan angin, kami membongkar tas dan memasang terpal. Tenda belum didirikan karena kami fokus menghangatkan diri dulu. Kami memasak susu hangat sambil menggigil. Setelah dirasa cukup, kami lantas mendirikan tenda, mengganti baju basah dan meringkuk di dalam sleeping bag. Tidak ada makan malam hari itu, kami hanya ingin istirahat dan kehangatan.

Hari ke-5, pagi diawali dengan cuaca cerah. Kesempatan itu kami gunakan untuk menjemur seluruh perlengkapan yang basah diguyur hujan sejak hari pertama. Setelah semuanya kering, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 6.
Medannya masih punggungan, dengan vegetasi cantigi dan lumut serta tumbuhan lain yang tak kami ketahui namanya. Akhirnya puncak yang ditunggu-tunggu tiba. Pukul 15.00, kami berdua menjejakkan kaki di puncak Tolangi. Malam itu kami rayakan keberhasilan mencapai puncak dengan berkemah di sisi triangulasi.
Hari ke-6, rencana awalnya adalah kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Balease. Tetapi menimbang waktu dan tenaga, akhirnya kami putuskan kembali turun. Sebelum berangkat turun, kami menambah persediaan air dengan mengisinya dari botol-botol bekas yang ada di sekitar puncak.
Perjalanan turun kali ini terasa lebih cepat karena kami ingin lekas sampai. Tetapi, karena kecerobohan, kami tersesat dan memasuki hutan lumut yang rapat. Kami berhenti dan melakukan orientasi serta membuka GPS kembali. Mau kembali ke atas rasanya berat. Akhirnya kami memotong punggungan, menerobos lorong lumut hingga tiba di jalur yang benar. Hari itu, kami bermalam di Pos 4, di titik 2044 mdpl.

Turun dengan tertatih-tatih
Hari ke-7, kami lanjut turun. Badan sudah mulai lelah dan kami mulai sering terjatuh. Trekking pole sampai bengkok menahan beban tubuh. Kuku jempol kaki Yeyen lepas dan terserang kutu air sehingga sangat gatal.

Kami terus saja berjalan mengikuti stringline yang hampir terpasang setiap sepuluh meter. Hari menjelang gelap, kami tiba di Pos 2, di titik 1127 mdpl, dan kembali bermalam.
Hari ke-8, rasa ingin segera tiba di bawah sudah sampai di ubun-ubun. Kami mempercepat langkah dan bersemangat. Jalur yang di hari pertama membuat kami tertatih-tatih kami lewati dengan bergegas, hingga akhirnya Air Terjun Bantimurung mulai terdengar suaranya.
Kami lega, setidaknya kami sudah tiba di pintu hutan. Meski masih 4 jam perjalanan lagi menuju rumah Pak Nas, setidaknya kami sudah tiba di peradaban. Setelah membersihkan diri di air terjun, kami melanjutkan perjalanan dan tiba di rumah Pak Nas sore hari.
Beliau menyambut kami dengan gembira. Ternyata, meski menjadi juru kunci, Pak Nas sendiri belum pernah mendaki hingga Puncak Tolangi Balease. Malam itu kami habiskan dengan mendengarkan banyak cerita dari beliau, termasuk keakrabannya dengan para pendaki Makassar. Jika Pak Nas ke Makassar, para pendaki pasti menyambut beliau dengan baik. Terimakasih, Pak Nas. Semoga sehat selalu.
Kak bsa tda kita ksi kontak yg bsa lideri ke gunung baliase
Bisa, silahkan DM instagram sy di @diary_azzam.keenan
hebat salut banget ane bang.. trus trang aj klo gua nyerah dengn medan yg begitu sulit dan lama di perjalanan..gua jg suka muncak tpi klo sulitnya begitu ampuun deh hee??