Pertengahan Juni lalu, tepatnya tanggal 24 Juni 2018, ratusan orang larut dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba yang digelar di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang. Ngertakeun Bumi Lamba adalah kegiatan ritual tahunan yang digelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali dari paling utara Bumi menuju selatan. Setiap bulan Kapitu (bulan ke-7), dalam hitungan Suryakala, kala ider (kalender) Sunda.

Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara menjalankan pesan kasepuhan, yang menitipkan tiga gunung, sebagai paku alam (harus diperlakukan sebagai tempat suci). Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede adalah amanat yang harus dijaga sebagai tempat “kabuyutan”. Upacara adat ini juga dilakukan sebagai wujud terima kasih dan cinta dari manusia untuk alam, di mana kita harus menyejahterakan alam dan diri kita sendiri karena kita akan berpulang dan tinggal di bumi ageung (alam semesta) dan bumi alit (diri sendiri).
Berdasarkan falsafah hidup dan aturan dasar adat istiadat, upacara ini merupakan manifestasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan pencipta-Nya. Rajah atau medium tentang pandangan hidup urang Sunda. Budaya leluhur Sunda telah mengajarkan masyarakat untuk bersahabat dengan alam.
Dalam filosofi hidup masyarakat Sunda ada dikenal Mulasara Buana yaitu memelihara alam semesta. Visi hidup yang terbentuk dari perlunya menjaga keseimbangan alam dari berbagai perilaku yang cenderung mengeksploitasi alam berlebihan. Gunung berapi merupakan sumber kehidupan masyarakat Sunda, sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah “guru nu agung” atau guru besar.
Ceritanya, zaman leluhur dulu, Gunung Tangkuban Parahu dipercayai sebagai gunung terbesar di jagad raya ini sehingga Gunung Tangkuban Parahu diagungkan oleh penganutnya. Dengan pernah meletusnya gunung agung ini, menambah kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan untuk semakin menjaganya karena mereka menganggap alam telah murka. Kerusakan dan kemusnahan alam cenderung dianggap akibat perbuatan manusia yang berlebihan. Akibatnya, Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Sanghyang KeresaatauSanghyang Widhi) bereaksi dengan memusnahkan sebagian alam yang tidak terjaga baik. Untuk menjaga kestabilan alam para penganut Sunda Wiwitan, maka ritual Upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan di Tangkuban Parahu.

Source: Google Plus Ngertakeun Bumi Lamba
Inti upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah bentuk terima kasih dan pengingat pada setiap orang bahwa kesucian gunung adalah sumber utama kehidupan makhluk. Gunung adalah paku Bumi di semesta ini. Gunung sumber spiritual dan budi pekerti yang mendasari perilaku berbudaya bagi umat manusia.
Pesan tersiratnya, mendesak manusia untuk mengubah sikap terhadap lingkungan. Lebih arif terhadap alam sebagaimana yang dilakukan leluhur sejak dulu. Terlebih, Masyarakat Sunda membagi hutan dalam kawasan gunung dalam tiga kategori: leuweung larangan (hutan keramat), leuweung tutupan (hutan lindung), dan leuweung baladaheun (hutan titipan). Bila diinterpretasikan merupakan petuah mengelola alam dengan kebijaksanaan sekaligus mengenal batas-batas yang diajarkan nenek moyang.
Pengertian Gunung Dalam Konteks Islam
Dalam konteks Islam, gunung itu memiliki pengertian yang luar biasa lagi. Seorang ahli Geophysicist asal Washington, Amerika Serikat bernama Profesor Emeritus Frank Press, dalam bukunya bertajuk Earth, menyatakan bahwa gunung mempunyai akar yang menghujam ke dalam bumi sehingga menyerupai pasak.
“Pasak atau paku besar merupakan benda yang menancap ke dalam sehingga kepala yang tampak di luar selalu lebih pendek dari panjang pasak yang menghujam ke dalam,” katanya.
Ilmu pengetahuan baru ini semakin menguatkan kebenaran dalam Al-Qur’an yang sudah menjelaskan pengetahuan tersebut sejak 1400 tahun silam. Allah SWT dalam surat An Naba’ mengatakan bahwa Dia menciptakan gunung sebagai pasak di bumi.
“Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?” (An Naba’, 78: 6-7)
Ketika selama ini orang-orang hanya takjub kepada ketinggian gunung, namun Alquran mementahkan kekaguman yang kecil itu. Ternyata bukan tingginya, tetapi kedalaman akar gunung yang menghujam 15 kali lipat dari tinggi di atas permukaan bumi, itulah yang lebih dasyat.
Para ahli geofisika menemukan bukti bahwa kerak bumi berubah terus dengan terori lempeng tektonik yang menyebabkan asumsi bahwa gunung mempunyai akar yang berperan menghentikan gerakan horizontal atau Litosfer. Teori lempeng tektonik menyebutkan, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu. Penemuan ini juga semakin memperkuat kebenaran Al-Qur’an QS. Al Anbiya: 31.
“Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al Anbiya: 31)
“Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (Surat An-Nahl:15)
Dalam Al-Qur’an Allah menjelasan bahwa fungsi utama gunung adalah untuk menjaga bumi agar tidak goncang. Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan sekitar 14 abad silam. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi modern.
Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi.
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Profesor Siaveda, ahli geologi dari Jepang. Menurut Siaveda, ketika lempengan bumi saling bertumbukkan, maka lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya. Sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung.
Dengan kata lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.
Sebagian ilmuwan kontemporer juga memandang peran penyeimbang gunung-gunung bagi kelangsungan hidup di muka bumi. Atas dasar itu, kita harus memandang pasti bahwa maksud Al-Qur’an yang menyerupakan gunung-gunung sebagai pasak bukanlah bahwa bentuk gunung-gunung tersebut seperti pasak, karena kita melihat dengan mudah bahwa kebanyakan gunung tersebut tidak dalam bentuk seperti pasak.
Sejatinya apa yang menjadi obyek perhatian Al-Qur’an adalah bahwa sebagaimana dengan memanfaatkan pasak-pasak dapat mencegah robohnya bagian-bagian yang bersambungan, maka gunung-gunung juga memainkan peran serupa di muka bumi.
Dalam Buku “Alquran vs Sains Modern menurut Dr. Zakir Naik” karya Ramadhani, dkk menjabarkan penjelasan seorang geolog, Profesor Emeritus Frank Press, dari Washington, Amerika Serikat (AS). Menurutnya, kerak Bumi mengapung di atas cairan. Lapisan terluar Bumi membentang 5 kilometer dari permukaaan. Kedalaman lapisan gunung menghujam sejauh 35 kilometer. Sehingga, pegunungan serupa pasak yang didorong ke dalam Bumi.
Berdasarkan teori lempeng tektonik, lempengan yang ada pada Bumi bergerak di atas lapisan mantel Bumi, membawa benua dan dasar lautan. Melalui penelitian, pergerakan benua dapat diukur, yakni memiliki kecepatan pergerakan 1 hingga 5 sentimeter setiap tahunnya. Namun meski ditahbiskan menjadi pasak, tapi ternyata gunung tidaklah diam, bahkan ia senantiasa selalu bergerak dan mengikuti pergerakan lempeng benua di atas lapisan magma seolah awan yang bergerak di atas langit.
Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi. Lempengan-lempengan tersebut terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan. Bukankah ini juga menguatkan ayat Allah, An Naml:88.
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” An Naml:88?.
Begitu juga dalam buku Tafsir Ilmi ‘Samudra dalam perspektif Alquran dan Sains’ yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan bahwa gunung terus bergerak. Gunung yang terus bergerak diibaratkan pergerakan awan. Allah berfirman mengenai hal ini dalam salah satu ayat Alquran.
“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” Surah An-Naml Ayat 88.
Tafsir al-Muntakhab menjelaskan makna ayat di atas sebagai berikut. “Wahai Rasul, engkau melihat gunung-gunung itu tetap di tempatnya dan engkau mengira mereka diam, padahal yang terjadi sesungguhnya mereka bergerak cepat laksana gerakan awan”. Pergerakan-pergerakan Bumi, lempengan Bumi dan semua benda-benda di atasnya tentu menimbulkan berbagai perubahan, baik pergerakan cepat, sedang, maupun pergerakan lambat yang tidak disadari oleh manusia.
Perubahan dinamis itu yang menyebabkan terjebaknya endapan-endapan yang diperlukan manusia, seperti mineral, air tanah, energi fosil, dan sebagainya. Selain itu, perubahan juga dapat menimbulkan gempa, tsunami, hilangnya daratan dari pandangan mata, atau munculnya gunung-gunung baru seperti terjadi pada Anak Krakatau di Selat Sunda.
Selat Sunda, Selat Makassar dan Laut Banda merupakan beberapa contoh selat yang terbentuk akibat lempengan-lempengan yang bergerak. Selat Sunda merupakan selat yang memisahkan Jawa dan Sumatera. Kedalaman selat ini rata-rata sekitar 100 meter, kecuali di Kompleks Krakatau yang lebih dari 200 meter dan di bagian paling barat yang mencapai lebih dari 1.600 meter. Bila kedalaman di Kompleks Krakatau berkaitan dengan kaldera tua Krakatau, maka kedalaman di bagian barat berkaitan dengan graben atau lembah yang memanjang utara-selatan.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Quran surah An-Naml ayat 88 telah dibuktikan oleh seorang ilmuan Jerman bernama Alfred Wegener pada awal abad ke-20. Kemudian dilanjutkan oleh para ahli geologi yang membenarkan pernyataan Alfred wegener tersebut. Untuk pertama kalinya Wegener mengemukakan bahwa benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi. Yang kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda. Sehingga terpisah ketika mereka bergerak saling menjauhi. Kemudian lempengan-lempengan ini terus menerus bergerak dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi secara perlahan.
Akan tetapi, pada saat itu tidak ada satu orang pun yang mempercayai pendapat Wegeneer tersebut. Sebab mereka meyakini bahwa gunung-gunung tersebut tidak mungkin bergerak, melainkan hanya tetap seperti itu saja. Lalu pada tahun 1980, para ahli geologi baru memahami akan kebenaran pernyataan Wegener setelah 50 tahun kematiannya. Dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1915, Wegeneer mengatakan bahwa sekitar 500 juta tahun lalu seluruh tanah daratan yang ada dipermukaan bumi pada mulanya merupakan satu kesatuan yang disebut Pangea.
Lalu sekitar 180 juta tahun yang lalu, pangea kemudian terbelah menjadi dua bagian yang masing-masingnya bergerak ke arah yang berbeda. Pergerakan di kerak bumi ini ditemukan setelah dilakukan penelitian geologi pada awal abad ke-20.
Para ilmuwan kemudian menjelaskan bahwa, “Kerak dan bagian terluar dari magma memiliki ketebalan sekitar 100 km yang terdiri dari beberapa lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Selanjutnya terdapat sekitar enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Berdasarkan teori lempeng tektonik, diketahui bahwa lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya.”
Selain itu para ilmuwan modern pun menggunakan istilah continental drift atau ‘gerakan mengapung dari benua’ untuk gerakan gunung yang menyerupai gerakan mengapungnya perjalan awan di langit. Baru-baru ini, para ilmuwan di bidang Geologi menyatakan pula bahwa di dasar perut bumi terdapat pergerakan lempengan, serta terdapat daratan dan lautan di atasnya.
“Kerak dan bagian terluar dari magma memiliki ketebalan sekitar 100 km yang terdiri dari beberapa lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Selanjutnya terdapat sekitar enam lempengan utama, dan beberapa lempengan kecil. Berdasarkan teori lempeng tektonik, diketahui bahwa lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa benua dan dasar lautan bersamanya.”
Para ilmuwan pun menyebutkan kondisi gunung sebagai pergerakan mengapung dari benua yang ada didalam perut bumi, yang sama halnya dengan mengapungnya awan di langit. Hal itu pun menjadi bukti nyata bahwa kebenaran Al Qur’an dan kekuasaan Allah yang tak terbantahkan serta patut direnungkan. Wallahu A’lam. ***