Kamu tahu? Setiap perjalanan yang kita lalui akan menjadi cerita dan kenangan, entah hanya akan tersimpan dalam memori otak kita, album foto, maupun tulisan. Memori bisa saja terlupakan. Tetapi album foto dan tulisan, jika disimpan dengan baik, nggak akan pernah hilang sampai kapan pun. Ini adalah tulisan tentang saya dan para sahabat saat mendaki Gunung Papandayan.
Sebenarnya saya adalah pendaki pemula yang berambisi mengubah pemula jadi pemalu—eh, expert maksudnya. Karena masih pemula, jadi saya cari gunung yang nggak terlalu tinggi dan dekat dengan domisili. Akhirnya setelah sekian lama nyari barengan buat mendaki, ada juga yang ngajak ke Gunung Papandayan di Garut.

Awal mula saya bisa ke Gunung Papandayan ini adalah karena diajak saudari saya. Dini namanya. Doi punya kenalan anak gunung yang suka ngadain acara open trip. Setelah berunding dengan hati dan pikiran, akhirnya saya terima tawarannya.
Tapi, jalan menuju keindahan itu memang nggak mudah. Saya masih harus melewati jalan yang berliku. Salah satu tikungannya adalah mendapatkan izin orang tua. Maka saya bujuk-bujuklah orangtua dengan meyakinkan, seyakin-yakinnya, bahwa anaknya akan pergi dan pulang dengan selamat. Lewat negosiasi yang cukup panjang, akhirnya saya diizinkan. Mungkin karena jalannya pun bareng saudara dan teman-teman yang sudah dikenal sama orangtua saya.
Lima jam di atas mobil Satpol PP
Tanggal 12-14 Juni 2015 adalah hari saya tunggu-tunggu. Open trip ini start di Citeras, Banten, sedangkan saya berdomisili di Jakarta Timur. Jadi, saya dan dua orang teman memilih buat menunggu di Gerbang Tol Pasar Rebo.
Akhirnya tanggal 12 Juni 2015 pun tiba. Kami berangkat malam hari. Mobil dari Citeras tiba di Jakarta jam 12 malam—padahal kamu sudah menunggu di Pasar Rebo dari jam 9 malam. Menunggu itu memang nggak enak. Malah, karena kelamaan menunggu, kami pikir kami nggak akan jadi berangkat dan ditinggal.

Mobil yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kamu tahu mobil Satpol PP? Yup, kami naik mobil itu buat ke Garut. Pulang pergi. Mobilnya remang-remang seperti di warkop dan ditemani musik khas Indonesia yaitu dangdut. Karena gelap, saya nggak bisa melihat wajah teman-teman saya dengan jelas.
Jakarta-Garut, ditempuh dengan mobil Satpol PP selama lima jam dan kami tiba di Garut jam 5 subuh. Aroma pegunungan sudah mulai terasa. Dinginnya pagi itu bikin kami menggigil. Padahal ini baru di kaki gunung. Apa kabar jika sudah di atas?
Kami tidak langsung mendaki, tetapi istirahat dan saling berkenalan sampai jam 9 pagi. Waktu itu jumlah kami sekitar 20 orang. Ternyata, ada teman sekolah saya juga yang ikut. Saya baru sadar karena semalaman nggak bisa melihat wajah cantik dan tampan mereka di dalam mobil Satpol PP yang remang-remang itu.
Perjalanan menuju Pondok Saladah yang sedingin kulkas setelah magrib
Pendakian menuju tempat kemping, Pondok Saladah, dimulai jam 9 pagi. Trek Gunung Papandayan nggak terlalu rumit, cukup landai meskipun sedikit terjal. Yang bikin Papandayan beda dari gunung-gunung yang lain, gunung ini bisa didaki dengan sepeda motor! Luar biasa.

Saya sempat berpikir, “Kok bisa, ya? Nggak ngeri jatuh? Yang lihat saja ngeri, apalagi yang mengendarai motornya?” Mungkin memang benar—semua akan menjadi bisa apabila kita mau belajar.
Akhirnya kami tiba di Pondok Seladah sekitar tengah hari. Di tempat kemping ini saya dibikin terheran-heran lagi. “Di ketinggian 2.622 mdpl masih ada warung?! Yang jagain ibu-ibu pula.” Meskipun heran saya dan teman-teman mampir juga di salah satu warung buat jajan.
Saya masih nggak habis pikir. Bagaimana ya ibu-ibu ini membawa jajanan dkk ke sini? Penasaran, saya tanya saja ke ibu-ibu penjual, “Nggak cape ya Bu naik turun setiap hari?” Ibu yang luar biasa tangguh itu cuma menjawab, “Ya cape sih. Tapi kalo udah biasa mah ngga berasa capenya. Dan kalau udah magrib di sini dinginnya udah kaya di kulkas.”
Sebagai pendaki pemula, merasa tercengang dengan pernyatan ibu ini dan hanya bisa berkomentar, “Masa, Bu?”
Tidur ternyata lebih enak dibanding mendaki ke Tegal Alun
Kami mendirikan du tenda buat laki-laki dan perempuan. Ternyata tempat ini sudah ramai oleh pendaki lain. Di Pondok Saladah kegiatan kami antara lain istirahat, makan, dan—tak lupa—foto-foto.

Suasana gunung adalah suasana yang selalu saya rindukan. Alhamdulillaah, cuaca juga mendukung, Nggak hujan dan lumayan cerah. Malamnya kami menyalakan api unggun—dan benar apa yang dikatakan ibu-ibu warung: dinginnya luar biasa! Sudah pakai jaket di depan api unggun masih saja terasa dingin. Saya jadi menitikkan air mata karena rindu kasur di rumah.
Rencananya, kami akan melakukan summitting ke Tegal Alun jam 3 subuh. Tapi—seperti yang bisa kamu duga—rencana ini gagal sebab sebagian di antara teman masih tidur. Akhirnya kami jalan ke Tegal Alun sekitar jam 8 pagi setelah rapi-rapi tenda dan sarapan. Pulangnya kami berencana lewat Hutan Mati.
Trek ke Tegal Alun berbatu dan terjal. Setelah sekitar 1 jam perjalanan, sampailah kami di Tegal Alun. Setiba di sana, hamparan bunga edelweiss menyapa kami. Cuaca pagi yang cerah di tengah luasnya hamparan bunga edelweiss bikin kami nggak mau beranjak pergi dari Tegal Alun.
Ada hal lain yang juga menarik di Gunung Papandayan
Ada lagi yang menarik di Gunung Papandayan ini, yaitu Hutan Mati. Pohon-pohon di sana nggak ada daunnya, tetapi tetap hidup. Pemandangan di sini sangat indah. Beberapa gunung bisa kamu lihat dari sini, misalnya Gunung Cikuray di belakang sana. Jadi, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?

Perjalanan pulang memang selalu terasa lebih cepat dibandingkan perjalanan datang. Rasanya cepat sekali waktu berlalu. Mobil jemputan kami sudah menunggu dan kami bergegas untuk pulang. Semoga suatu saat bisa kembali lagi ke sini.
Setiap perjalanan pasti mempunyai pelajaran hidup. Untuk perjalanan kali ini, saya mendapatkan pelajaran, yaitu …
“Bersyukurlah atas apa yang kamu punya dan rasakan saat ini, karena perjuangan kamu belum tentu sepedih perjuangan mereka untuk hidup. Jika kamu merasa sedang bersedih, berpikirlah: pasti masih ada yang lebih sedih dari kamu. Bersabarlah. Belajarlah mandiri dan rendah hati, sebab gunung mengajarkan kita untuk saling peduli, gotong royong, dan tidak egois. Setinggi apa pun gunung yang kamu daki, kamu nggak akan pernah bisa menaklukkan gunung, karena yang perlu kamu taklukkan adalah diri kamu sendiri.”
Seru banget pasti naik ke base camp pendakian naik mobil Satpol PP. 🙂
Gak seru sih min kalo gak ada amuh -.-
epic nih naek mobil satpol pp wkwk