Apa persamaan antara hijrah dan mendaki gunung? Meski masing-masing memiliki pengertian yang berbeda, dalam satu titik keduanya mempunyai persamaan, yakni dibutuhkan komitmen yang kuat untuk melaksanakan hijrah atau mendaki gunung. Dibutuhkan istiqomah yang tak kunjung putus jika kita berniat untuk hijrah atau mendaki gunung.
Seperti fenomena yang terjadi saat ini, di mana kini banyak kalangan muda, baik selebriti maupun nonselebriti, yang berhijrah. Mereka begitu berbeda, baik dalam sikap dan penampilan maupun tingkah laku. Yang dulu begitu glamor, mengumbar aurat, kini berbalik 180 derajat.

Hijrah yang kita bahas di sini bukanlah mengenai perpindahan dari satu tempat menuju tempat lain, namun dalam konteks yang lebih luas. Hijrah adalah perubahan menuju lebih baik dalam segala hal, yang dilakukan semata-mata demi kebaikan dan mengharapkan ridho Allah.
Yang paling fenomenal baru-baru ini adalah saat pesinetron Kartika Putri memutuskan untuk mengenakan jilbab. Bahkan, Kartika yang dulu kerap berpakaian sexy itu memohon dengan sangat agar penggemarnya menghapus foto-foto saat dirinya belum menutup aurat. Ia seolah-olah tersadar: perjalanan hidupnya selama ini jauh dari ajaran agama. Kartika Putri hanya salah satu dari sekian banyak cerita soal fenomena hijrah yang sekarang sedang menjadi tren.
Terminologi “hijrah”
Kata hijrah sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti meninggalkan, menjauhkan dari, dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari Mekah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah, berupa akidah dan syariat Islam.

Perintah berhijrah terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an, antara lain dalam QS Al-Baqarah 2:218,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berhijrah di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Juga dalam Al-Anfal dan At-Taubah,
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang mujairin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni’mat) yang mulia” (QS Al-Anfal, 8:74).
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS At-Taubah, 9:20).
Secara bahasa hijrah berarti meninggalkan. Seseorang dikatakan hijrah jika telah memenuhi dua persyaratan, yaitu, pertama, ada sesuatu yang ditinggalkan dan, kedua, ada sesuatu yang dituju (tujuan). Keduanya harus dipenuhi oleh seorang yang berhijrah. Meninggalkan segala hal yang buruk, negatif, maksiat, kondisi yang tidak kondusif, menuju keadaan yang lebih baik, positif, dan kondisi kondusif untuk menegakkan ajaran Islam.
Dalam pandangan Ibnu Qayyim, hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya tak bisa dilepas dari dua kata penting yaitu kata “dari” (min) dan kata “menuju” (ila). Berhijrah dengan totalitas hati, niat, dan komitmennya dari mencintai selain Allah menuju kecintaan penuh kepada-Nya.
Hijrah mestinya diiringi dengan tekad dan niat yang kuat
Berbagai cara dan upaya dilakukan setiap orang untuk bisa berhijrah. Ingat kisah (Alm.) Ustad Jefri atau Ustad Udje? Kisah Ustad Udje yang sudah difilmkan itu bercerita soal proses hijrah seorang anak manusia, yang berpindah dari lingkungan dan kondisi yang buruk menjadi kondisi lebih baik, yang diridhoi oleh Allah SWT.
Kita bisa melihat betapa dibutuhkan komitmen yang kuat, hati yang bulat, dan membuang semua masa lalu, dalam proses menuju hijrah. Sebenarnya, menurut hemat saya, bukan hijrah itu sendiri yang terpenting namun yang paling urgen adalah proses menuju hijrah—itu yang utama. Apa pasal? Biasanya, seseorang terbentur bukan saat sampai pada titik hijrah, melainkan pada proses hijrah itu sendiri. Dalam proseslah biasanya terletak segala tantangan dan godaan.

“Ingin berhijrah” semestinya tak sembarang diucapkan jika tidak disertai tekad yang kuat. Betapa Ustad Udje dianggap aneh oleh sebagian kawannya saat ia memberikan ceramah di lingkungan. Renungkan juga betapa tersiksanya (mungkin) para personil Slank saat tengah berproses ke hal baik dalam menyembuhkan diri dari narkoba. Artinya, setiap keinginan hijrah itu timbul sudah semestinya harus diiringi dengan tekad dan niat yang kuat.
Dan ini sama halnya dengan mendaki gunung. Semua orang dewasa, baik laki-laki atau perempuan, mungkin bisa mendaki gunung, terlepas dari berhasil mencapai puncak atau tidak. Tapi, bertahan pada kondisi ekstrem saat mendaki, benak yang melayang ke tempat tidur yang hangat serta bersit-bersit pikiran yang mengacaukan akal, bisa menggagalkan keinginan seorang pendaki untuk mencapai puncak.
Esensinya, ada konteks pengertian yang sama antara hijrah dan mendaki gunung. Hijrah memerlukan komitmen yang kuat, tekad yang bulat dan melenyapkan semua kejahilan masa lalu, agar hijrah yang kita niatkan bisa menjadi kaffah. Tentunya untuk memiliki hal-hal tersebut ada kiat-kiat tersendiri. Hijrah mempunyai jalurnya sendiri, tidak hanya terucap saja dalam lisan tanpa ada hal-hal di luar itu yang mengiringinya.
Agar hijrah tidak berhenti di tengah jalan
Dikutip dari situs muslim.or.id, sedikitnya ada enam (6) poin yang harus diperhatikan agar keinginan hijrah kita tidak berhenti di tengah jalan. Di antaranya; memiliki niat ikhlas ketika hijrah, mencari lingkungan yang baik dan sahabat yang shalih, memperkuat fondasi dasar tauhid dan akidah yang kuat dengan mengilmui dan memahami makna syahadat dengan baik dan benar, mempelajari Alquran dan mengamalkannya, berusaha tetap terus beramal walaupun sedikit, sering berdoa dan memohon keistiqomahan dan keikhlasan.
Berhijrah memang berat karena harus memiliki kesabaran dan juga komitmen agar tidak kembali ke masa lalu yang penuh dengan kemaksiatan. Boleh jadi cobaan dan godaan yang datang akan lebih berat. Lingkungan barangkali saja kurang kondusif, teman-teman dekat mungkin menjauh, dan, bahkan, mungkin akan ada orang yang membenci perubahan kita.

Tentu saja akan ada konsekuensi terhadap pilihan hidup kita. Ketika berhijrah, kita akan menemukan dua keberanian, yaitu berani kehilangan dan berani untuk menemukan.
Namun, tahukah kamu bahwa Allah akan memberikan balasan yang luar biasa bagi yang berhijrah sungguh-sungguh karena Dia? Allah akan memberikan rezeki, diampuni kesalahan dan dosanya, ditinggikan derajatnya, mendapatkan kemenangan yang besar dan tentunya mendapatkan ridho Allah dan akan berbalaskan surga-Nya.
“Barang siapa yang hijrah di jalan Allah, niscaya akan mendapati muka bumi tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…. “ (Q.S Annisa: 100).
Hijrah dan mendaki gunung
Begitu juga mendaki gunung. Banyak rintangan selama proses pendakian. Kehausan, kedinginan, kaki kram, kelaparan dan lain-lain siap menghadang sebelum kita melihat semburat sang fajar menyembul dari langit timur.
Sama seperti hijrah, mendaki gunung pun memerlukan persiapan matang. Mendaki gunung bukan sekadar tamasya menikmati keindahan alam; ada tahapan-tahapan yang harus dilalui agar niat mendaki gunung bisa tercapai dan kembali pulang dengan selamat.
Kebanyakan kisah-kisah tragis orang yang hilang dalam kelebatan hutan, putus asa di tengah jalan karena lelah, tewas di jurang, terjadi karena kesiapan yang kurang matang.
Jangan salah, mendaki gunung perlu persiapan lahir dan batin, tidak hanya fisik saja. Sama dengan hijrah. Tidak hanya raga dan fisik kita saja yang berpindah dari tempat buruk ke tempat yang baik, batin pun harus ikut hijrah. Artinya, tak bisa hanya fisik kita saja yang hijrah sementara batin masih tertinggal di belakang.

Takkan pernah sunrise di langit timur itu bisa disaksikan, meskipun fisik sanggup, jika batin ternyata melekat erat di kehangatan rumah. Takkan pernah keagungan Sang Pencipta bisa kita nikmati jika benak melayang-melayang pada zona nyaman di rumah.
Di titik inilah hijrah dan mendaki gunung bertemu. Dibutuhkan tekad yang kuat untuk hijrah dan tak kembali lagi ke masa lalu, dibutuhkan semangat yang terus dipompa dalam hati agar jejak-jejak yang tercipta dapat mengantarkan kita menuju puncak gunung, dan dibutuhkan istiqomah yang terus dipupuk agar hijrah yang kita lakukan tak berhenti di tengah jalan.
Hijrah memang seperti mendaki gunung; butuh kesabaran, kekuatan, dan istiqomah yang tak kunjung putus karena banyak cobaan yang menghalangi. Namun, jika dalam mendaki gunung setelah tiba di puncak kita akan kembali turun, dalam hijrah kita harus terus konsisten di jalan-Nya sampai Pemilik Jasad ini memanggil kita kembali karena tugas-tugas kita telah usai di dunia.
Wallahu a’lam bisshawab!
MasyaAllah…
Semoga kita yg menuju tahap itu bisa istiqomah. Amin