Perumpamaan peta pada pernikahan adalah menunjukkan sebuah titik yang ingin sama-sama dituju. Perumpamaan senter adalah salat dan kesabaran, yang akan menerangi dalam kondisi paling gelap sekali pun. Dan perumpamaan kompas adalah komunikasi, yang akan memberi arah ke mana harus melangkah. Tanpa ketiganya, semua akan sia-sia.
Jika kita mendaki gunung dan tiba di, apa yang kita lihat? Tentu semua keindahan dan kemegahan akan terpampang di depan mata. Hutan yang menghijau, lautan awan yang memutih, serta deretan gunung-gunung yang jauh lainnya dengan ketinggian yang sama atau lebih menyembul pula dari balik awan, dan terlihatlah samudra membiru yang hanya bisa kita lihat jika mampu naik sampai ke puncak. Puncak adalah keindahan, kemegahan, dan kebanggaan tersendiri yang takkan bisa dibeli oleh apa pun.
Mari kita renungkan kembali perjalanan dari awal pendakian sampai ke puncak. Betapa lelah mendera terasa. Jejak-jejak keringat tercipta, tapak sepatu yang berdebu menjadi saksi perjalanan yang kita tempuh untuk sampai ke puncak. Dan saat lelah menggayut dan penat menghunjam, meluruskan kaki di perhentian jalan adalah solusi satu-satunya. Lalu rasakanlah nikmat sepoi angin, basahi tenggorokan dengan air—betapa indahnya dunia. Lantas setelah lelah usai, kembali kita melangkahkan kaki. Beberapa jam kemudian, akhirnya kita tiba di puncak yang menjadi tujuan.

Terkadang kita tidak sabar untuk segera mendakinya. Namun jangan pernah mencoba-coba mendaki gunung tanpa bekal dan persiapan yang matang. Persiapan yang matang akan membuat perjalanan terasa lebih ringan dibanding hanya bersiap-siap seadanya. Bukan keindahan yang akan yang didapat, melainkan risiko yang lebih besar untuk celaka atau bahkan kehilangan nyawa. Di balik keindahannya, gunung menghadapkan kita pada jurang-jurang menganga, tebing-tebing tinggi, jalan terjal penuh onak dan duri, dan cuaca tak bersahabat yang menghajar tubuh hingga babak belur. Kalau tidak siap, jelas sangat membahayakan. Maka dari itu, jika hendak mendaki gunung bekal haruslah dipersiapkan. Tidak hanya sekadar bekal materi semata agar dapat mencapai puncak, namun juga bekal mental, serta pengetahuan.
Menapaki pernikahan ibarat mendaki gunung
Menapaki pernikahan ibarat mendaki gunung. Indah dipandang mata, namun terjal untuk dilalui. Tidak mudah untuk bisa mencapai puncaknya. Ada begitu banyak rintangan ketika melaluinya, kadang tertusuk duri, kadang tersandung batu, bahkan tersesat jalan. Namun rasanya tidak sulit untuk bisa mendakinya sampai ke puncak, tergantung seberapa besar niat dan seberapa kuat kuat mental yang kita siapkan.
Coba kembali bayangkan awal mula sebelum kita naik gunung. Lihatlah, semuanya tampak indah dan wangi. Hijaunya rumput yang ditata di taman, warna-warni bunga dan aneka tanaman berseliweran, angin yang berhembus sepoi-sepoi, suara gemericik air terjun, gunung-gunung yang menjulang dan laut yang kebiru-biruan, semuanya tampak indah mempesona.
Namun tanpa disadari, justru bahaya itu datang saat manusia terlena menikmati keindahan alam. Di rerumputan hijau tak jarang ditemui kerikil tajam yang dapat melukai kaki atau menggelincirkan langkah. Di sela-sela aneka warna bunga yang menebarkan aroma, tak menutup kemungkinan terselip duri tajam tersembunyi atau ular yang bisa mematuk siapa saja yang kurang hati-hati.

Ransel yang tujuan utamanya membawa berbagai perlengkapan mendaki pada akhirnya akan menjadi beban yang tak berkesudahan karena beratnya pendakian. Menopang ransel dalam pendakian pernikahan tidak bisa dibilang ringan, dan tentu bukan hal yang mudah. Dalam ransel wajib ada tanggung jawab seorang suami. Dan di dalam ransel lainnya, wajib ada tanggung jawab dari seorang istri. Dan sering kali dalam perjalanan menikah itu yang ditemui adalah lelah untuk melanjutkan perjalanan.
Kemudian kompas yang awalnya dibawa sebagai penunjuk arah agar jangan tersesat, malah di tengah perjalanan mendaki menjadi tak berfungsi. Begitu juga dengan senter dan peta yang menjadi bekal pendakian, juga tak bisa dipergunakan justru ketika pendakian terasa begitu melelahkan dan menguras energi. Lebih kacau lagi jika kita tak punya kemampuan untuk mengoperasikannya.
Banyak yang hanya ingin menikmati gampangnya saja
Tak bisa dipungkiri, saat ini banyak pendaki yang hanya ingin menikmati gampangnya saja “mendaki” tanpa harus bersusah payah dulu. Mereka luput dengan risiko yang pasti menghadang dalam pendakian. Ironisnya lagi, mereka mendaki tanpa ilmu dan bekal yang memadai. Mereka bukan ingin mendaki dalam artian sepenuhnya, namun hanya ingin menikmati keindahan alam pegunungan di “permukaannya” saja.
Kalau hanya menikmati keindahan sebatas itu, jangan harap pendakian akan berujung di puncak. Begitu pula pernikahan. Jangan harap sebuah pernikahan akan langgeng, sakinah, mawaddah, dan warahmah kalau yang dinikmati hanya permukaannya saja. Akan banyak kemungkinan yang menghadang di depan mata, baik nyata maupun kasat mata. Janji-janji indah mungkin saja tak terpenuhi setelah menikah.Rencana atau mimpi yang sudah terangkai bisa saja jadi pascapernikahan.

“Peta pernikahan” yang sebelum akad diharapkan bisa jadi jalan menuju puncak, tiba-tiba menjadi kabur. Ada-ada saja bahaya yang menghadang. Entah mantan yang kembali hadir, keuangan yang memburuk, dan hal-hal lain yang sebelumnya luput dari penalaran kita.
Kompas, yaitu penunjuk arah agar kita tidak tersesat saat mendaki, tiba-tiba saja malah berputar-putar tak tentu arah. Jarumnya kacau tak berfungsi. Pasangan yang sebelumnya begitu manis dan manut sebelum mendaki, tak disangka malah berbalik jadi pemberontak dan menentang semua saran dan nasihat kita. Pernikahan itu pun akhirnya hanya seperti rel kereta api: tak pernah bertemu.
Menyatukan dua jiwa
Dua jiwa, dua watak, dan dua karakter berbeda harus disatukan dalam perjalanan. Belajar untuk tidak egois, selalu berbagi senang, saling membantu dalam setiap kesulitan, dan saling menguatkan di kala lemah. Hal itu takkan jadi masalah bila alat-alat pendakian seperti kompas, peta, dan senter benar-benar difungsikan secara maksimal. Ada tali yang tidak putus di antara mereka. Tali menggambarkan ikatan yang saling mempengaruhi, juga ada batas-batas baru dibandingkan saat hidup membujang. Jika dua orang naik gunung bersama, dibutuhkan latihan pendahuluan untuk mengatasi kesulitan, komunikasi yang baik, kekuatan untuk berjalan dan bertahan, termasuk mengikuti kekuatan yang lemah supaya tetap bersama. Kalau tidak mau latihan dan bekerja sama maka salah satu akan menjadi beban bagi pasangannya.
Peta pun akan membawa kita menuju ke arah yang benar, ketika yang menjadi pedoman pernikahannya adalah Alquran dan hadis. Betapa banyak godaan di luar sana bagi orang-orang yang sudah menikah, baik itu laki-laki maupun perempuan. Dan jangan lupa, saat kita memutuskan untuk menikah guna menjalankan sunnatullah, setan dan kawan-kawannya pun pasti akan mengubah strateginya.

Kalau dulu saat masih membujang, jika memakai skala angka, setan hanya menggoda cukup sampai level 2 saja, saat menikah bisa jadi musuh Allah SWT itu langsung menaikkannya sampai level sampai 4, 5, 6, atau bahkan sampai 7! Sebagai makhluk Allah SWT yang dilaknat, setan jelas tahu kelemahan kita sebagai manusia. Apalagi jika dalam perjalanan hidup kita diberi rezeki melimpah; makin mudah pula setan menggelincirkan kita dari tujuan awal pernikahan yang suci.
Pernikahan adalah berjanji di hadapan Allah SWT
Saat kita melakukan ijab qabul, hakikatnya kita tengah berjanji di hadapan Allah SWT. Dan, selayaknya, janji itu nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Selayaknya mendaki gunung di mana kita harus membawa perbekalan yang memadai, menikah juga begitu. Tanpa ilmu dan bekal yang memadai akan terjadi banyak kekeliruan dalam pernikahan. Perbedaan pendapat, kesalahan komunikasi, kejenuhan rumah tangga, dan hal-hal lain akan silih berganti menguji kita.
Kelelahan dan kesulitan dalam pernikahan akan begitu mudah terlupakan saat dua orang yang menikah memutuskan istirahat sejenak untuk sekadar berkomunikasi dan menguatkan diri, sembari membuat perapian, menyeduh kopi, dan menikmati keindahan bintang-bintang di langit. Jutaan bahkan ribuan bintang itu seolah berkata; kalian adalah pasangan pendaki yang paling beruntung, sebab kalian dipertemukan dan diberi kesempatan untuk menuju sebuah puncak yang sama, berdua.
Ketika kita tidak siap dengan itu semua atau kita tidak memiliki persiapan yang matang untuk menghadapi itu semua, keharmonisan rumah tangga akan terganggu dan guncangan akan menghampiri. Barangkali akibatnya adalah berakhirnya pernikahan—ini merupakan hal yang sangat kita hindari.

Persiapan-persiapan
Persiapan itu meliputi kematangan pemikiran, persiapan hitung-hitungan mengenai uang, kematangan ilmu, kematangan fisik, dan persiapan-persiapan yang lain. Ya, persiapan itu sangat penting bagi kita untuk menghadapi bumbu-bumbu pernikahan.
Terkadang kita terbuai melihat pernikahan yang tampak begitu indah dan menarik hati. Terkadang kita tergesa-gesa melangkahkan kaki untuk menggapainya. Entah berapa pasangan yang bahtera pernikahannya karam akibat ketidaksiapan. Bukanlah materi, atau sekadar semangat, yang menjadi bekal untuk mewujudkan niat mulia tersebut. Penting juga memiliki hati yang bertaqwa. “Wa tazawwaduu fa inna khoiro zaadit taqwa.” Hati yang dihiasi iman, ketulusan, ilmu dan kesabaran.
Hati yang demikianlah yang akan bisa mencapai ujung yang indah, yaitu keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Begitu indah mendaki bersama-sama di jalanNya, hingga akhirnya bertemu kembali di surga-Nya. Jangan lupa, menikah adalah belajar beribadah seumur hidup dengan pasangan kita. Hanya yang memiliki keyakinan, mental kuat, dan siap menghadapi ujianlah yang dapat mencapai puncak indah.
Wallahu a’lam bishshawab.