Tidak seperti dulu ketika naik gunung dianggap sebagai kegiatan eksklusif karena hanya kelompok tertentu saja yang menekuninya, sekarang pendakian gunung jadi trend. Namun, seiring bermunculannya film-film bertema pendakian—dan media sosial—aktivitas pendakian gunung jadi populer.
Tujuan orang mendaki gunung pun beragam. Matthew Tandioputra, pendaki termuda Indonesia, misalnya. Ia naik gunung sebagai bagian dari terapi karena didiagnosis “kelebihan energi.” Ketimbang kegiatan lain seperti meniti pematang dan berjalan di tanah rata, ternyata naik gunung lebih mengakselerasi proses terapinya. Sebagai bonus, ia malah menorehkan prestasi sebagai pendaki termuda yang menyelesaikan tujuh puncak tertinggi di Indonesia.

Banyak pula pendaki yang mengusung “idealisme” dengan membawa sendiri seluruh perlengkapannya tanpa bantuan porter. Di sisi lain, ada juga pendaki yang memerlukan bantuan porter demi efektivitas pendakiannya. Lebih lanjut, keterbatasan tenaga, waktu, dan skill membuat beberapa kelompok pendaki memilih menggunakan jasa agen pendakian.
“Booming” pendakian dan bermunculannya operator pendakian gunung
Semenjak pendakian booming di Indonesia, jasa operator pendakian pun semakin menjamur. Konsepnya pun beragam, dari mulai layanan private trip (all-included yang menyediakan semua keperluan pendaki by-request) sampai penawaran trip besama rombongan (open trip).
Bagi penyelenggara, usaha jasa open trip ini memang menggiurkan. Namun, terkadang operator hanya memikirkan keuntungan semata dan mengabaikan keselamatan dan kenyamanan klien. Sebab, orientasi keberhasilan seolah hanya ditentukan oleh berhasil atau tidaknya klien ke puncak. Tidak bermaksud menyudutkan jasa open trip, namun nyatanya kasus klien tidak terpantau oleh guide penyedia jasa open trip sangat sering terjadi.

Contoh berikut ini jamak terjadi. Sebuah operator open trip sedang membawa klien. Pemandu terpisah dari rombongan, sementara operator tidak mempersiapkan asisten yang bisa menangani klien—sesuai rasio pemandu/klien. Akhirnya, beberapa klien kebingungan saat berjalan, sebagian lain bermasalah dalam hal kesehatan tapi tak ada yang menangani. Kisah lain yang juga sering terdengar adalah masalah kekurangan logistik seperti air dan makanan.
Tips memilih jasa “open trip”
Karena open trip lebih murah dibanding private trip, banyak yang lebih berminat ikut trip jenis pertama. Itu wajar dan sah-sah saja. Meskipun demikian, ada beberapa hal yang perlu jadi pertimbangan saat memilih jasa open trip, yakni:
1. Siapa penyelenggara open trip tersebut?
Sebelum mendaftar, teliti dulu siapa pengelenggara open trip itu, apakah operator berpengalaman atau tidak. Vendor berpengalaman pasti memberikan rasa nyaman. Agar lebih mengenal vendornya, kamu bisa melihatnya di website atau media sosialnya. Lihat portofolio serta review yang diberikan klien-klien yang pernah menggunakan jasa mereka.
2. Apakah harga yang ditawarkan wajar?
Kamu juga mesti menimbang-nimbang dan membandingkan kewajaran harga yang ditawarkan. Jangan sampai terlalu mahal, tapi juga jangan terlalu murah. Kalau mahal, berarti vendornya mengambil margin terlalu tinggi. Terlalu murah, jangan-jangan ada biaya yang benar-benar ditekan—upah porter misalnya. Untuk apa murah tapi ujung-ujungnya membuat kamu tidak nyaman? Pokoknya, jangan sampai tertipu dengan harga.
3. Apakah vendornya kompeten dan memberi kamu fasilitas yang layak?
Karena pendakian gunung adalah kegitan yang berisiko, kamu mesti memilih vendor yang kompeten. Pilih yang profesional. Kalau perlu yang pemandunya sudah memiliki sertifikat pemandu gunung. (Di Indonesia sendiri, sertifikasi profesi dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi Nasional Profesi/BNSP).

Open trip dengan harga rendah biasanya hanya menemani pendakian, menyediakan tenda dan alat masak di campsite, dan mengurus transportasi serta akomodasi saja. Makan biasanya hanya disediakan sebelum dan setelah pendakian.
Tapi ada juga yang menawarkan makanan selama pendakian, air mineral, serta air panas, lengkap dengan kursi dan meja makan. Nggak sedikit juga yang menyediakan kasur angin dan tenda toilet. Tentu yang terakhir ini lebih mahal. Karena itu, pilihlah paket yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kantong kamu.
4. Cari tahu apakah vendor itu mengupah porter secara manusiawi?
Menyelenggarakan trip berarti menjalankan sistem. Ada orang-orang yang terlibat dalam kegiatan itu, misalnya porter. Pastikan vendor yang kamu pilih mengupah porternya secara manusiawi. Sebagai perbandingan, rata-rata upah porter adalah Rp 225.000/hari dengan beban angkut 18 kilogram.
Semoga open trip kamu menyenangkan.