Dulu dan sekarang, Bandung dikenal sebagai kota yang dikelilingi gunung-gunung. Dengan kemegahan gunung-gunung Bandung, tak salah jika C.S. Wormser, penulis buku Bergenweelde yang terbit tahun 1928 menyebut gunung-gunung Priangan adalah gunung-gunung yang megah.
Jika kita berdiri di titik tertinggi di Kota Bandung, maka pandanglah sekeliling dan berputarlah seraya memandang puncak-puncak pegunungan yang mengitari kita. Pandanglah lama-lama pegunungan yang paling jauh dari penglihatan kita, lalu pejamkan mata. Resapi aroma basah pegunungan yang melingkari Kota Bandung. Lalu bayangkan jika kita tengah berada pada masa 20-15 juta tahun yang lalu, tatkala Dataran Tinggi Bandung masih terletak di dasar lautan. Dan posisi kita berdiri saat ini ternyata—sekitar 20 juta tahun silam—justru berada di dasar laut.
Mitos, folklor, legenda, ataupun dongeng kerap mewarnai sisi sejarah dan budaya dari sebuah daerah, entah sebuah wilayah administratif, budaya, sejarah, ataupun kerajaan. Mitos yang menjadi fokus penelitian ini tidak menafikan unsur folklor, legenda, ataupun dongeng karena keseluruhannya dapat saling mendukung dari upaya untuk mencari keakuratan apa yang terjadi di balik “cerita” dari suatu daerah.
Begitu juga dengan Kota Bandung yang terkenal dengan legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi-nya, yang pada era kini telah membentuk sebuah mitos tentang percintaan terlarang antara anak dan ibu, yang menghasilkan Gunung Tangkuban Parahu itu. Sepakati dulu agar pikiran kita jangan melihat Bandung saat ini: sumpek, semrawut, penuh asap kendaraan berikut fanatisme klub sepakbola dibalut keindahan mojang-mojang. Tapi, lemparkan benak pikiran kita pada Bandung kala kota tidak berpolusi, tidak bersampah, Bandung yang masih liar, Bandung yang tidak ada seorang pun manusia zaman sekarang pernah melihatnya.
Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh pegunungan. Ini menunjukkan bahwa pada masa lalu Kota Bandung memang merupakan sebuah telaga atau danau. (Sekitar 20-15 juta tahun silam, geografis Bandung memang benar-benar berbentuk danau.) Legenda Sangkuriang merupakan legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya Danau Bandung, dan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, lalu bagaimana pula keringnya Danau Bandung sehingga meninggalkan cekungan seperti sekarang ini. Air dari Danau Bandung menurut legenda tersebut kering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama Sanghyang Tikoro.
Kalau kita melihat cangkir, maka Bandung berada di dasar cangkir tersebut. Begitulah gambarannya. Di zaman itu, Dataran Tinggi Bandung masih terletak di dasar lautan. Dan Pulau Jawa sebelah Utara masih merupakan samudera. Hanya bagian selatannya saja yang berujud tanah dataran dengan pesisirnya tak jauh di sebelah selatan Pangalengan sekarang.

Beberapa pulau vulkanis terdapat di depan pantai itu. Lantas, secara bertahap pantai Laut Jawa yang semula terletak di Selatan Pangalengan (Kabupaten Bandung) bergeser makin ke utara, tak jauh dari Kota Bandung. Ini terjadi pada periode revolusioner, di akhir Zaman Miosen (25-14 juta tahun yang Ialu).
Pergeseran pantai Laut Jawa ke arah utara Bandung diakibatkan oleh pembentukan gunung (orogenese) dan proses pelipatan lapisan bumi. Sedimen yang terlipat kemudian muncul di atas laut.
Menurut Theodorus Henricus Franciscus Klompé dalam bukunya The Geology of Bandung yang diterbitkan tahun 1956, beberapa kegiatan vulkanis yang terjadi dalam periode itu pada akhirnya membentuk sebuah gunung raksasa bernama Gunung Sunda. Gunung tersebut memiliki kaldera di puncaknya. Sementara Gunung Burangrang hanya merupakan parasit dari gunung raksasa itu.
Mundur menuju zaman peradaban—kira-kira 11 ribu tahun lalu—lahirlah Gunung Tangkubanparahu sebagai anak dari kaldera Gunung Sunda. 6.000 tahun kemudian, erupsi besar kedua kembali terjadi di Gunung Tangkuban Parahu. Dari erupsi inilah lahir cerita rakyat soal “perahu” terbalik yang ditendang akibat kemarahan Sangkuriang yang kesiangan, hingga kegagalan cita-citanya mengawini ibunya sendiri.
Muntahan dari erupsi besar kedua itu tersebar di sebelah barat Ciumbuleuit (Bandung) dan sebagian lagi sempat menyumbat Sungai Citarum yang mengalir di Lembah Cimeta (utara Padalarang), sehingga terbentuklah “Danau Bandung,” Sebuah danau yang sering juga disebut oleh manusia zaman baheula sebagai “Situ Hiang.”
Baru sekitar 4.000-3.000 tahun yang lewat Danau Bandung mulai surut airnya dan muncullah Dataran Tinggi Bandung. Danau itu mulai kering menyusut tatkala Sungai Citarum yang tersumbat muntahan Gunung Tangkuban Parahu atau Gunung Burangrang bisa bebas mengalir kembali, dengan menembus bukit-bukit Rajamandala (sebelah barat Batujajar), melewati terowongan alam Sanghyang Tikoro.
Dataran Tinggi Bandung yang terkenal akan kesuburannya—sekarang terletak sekitar 725 mdpl di atas permukaan laut—dikepung gunungapi dan di sebelah barat terdapat bukit bukit batugamping. Endapan batugamping yang membentuk bukit-bukit kapur Padalarang adalah bukti bahwa daerah tersebut pernah terbenam di dasar laut.
Sekarang, bayangkan kita tengah melaju dalam kendaraan di persimpangan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Kopo. Bila ini terjadi 35.000 tahun yang lalu pada saat Danau Bandung Purba mencapai paras danau tertinggi pada ketinggian 712,5 mdpl, kini kita sedang melaju di dasar danau dengan kedalaman 26,5 meter.
Titik perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Cigereleng, di sana kedalamannya 32,5 meter. Di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Buahbatu, 36,5 meter. Semakin dalam bila kita berada di ujung timur jalan Soekarno-Hatta, di persimpangan Cibiru, di sana kedalamannya mencapai 39,5 meter.
Keadaannya akan semakin dalam bila kita berada di bagian tengah Jalan Tol Padalarang-Cileunyi. Bila kita sedang berada di Pintu Tol Pasirkoja, di sana kedalamannya hanya 26,5 meter. Pintu Tol Kopo, kedalamannya mencapai 41,5 meter. Apalagi bila kita berada di Pintu Tol Cigereleng, kedalamannya mencapai 43,5 meter. Sedangkan di Pintu Tol Buahbatu, kedalamannya sama seperti di perempatan Jalan Soekarno-Hatta dengan Jalan Buahbatu.
Sekarang, bukalah mata dan resapi Bandung yang penuh sesak saat ini. Pandanglah sekeliling Kota Bandung dari titik tertinggi di Kota Paris van Java itu. Kita benar-benar akan melihat jika Bandung memang dikelilingi gunung-gunung yang melingkar. Bagai sebuah cangkir, dasar cangkir itu adalah Bandung yang kita tempati saat ini!
Nama Bandung sendiri berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Parahu yang lalu membentuk telaga. Menurut legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua, nama Bandung diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.
Berdasarkan filosofi Sunda, kata Bandung juga berasal dari kalimat Nga-Bandung-an Banda Indung, yang merupakan kalimat sakral dan luhur karena mengandung nilai ajaran Sunda. Nga-Bandung-an artinya menyaksikan atau bersaksi. Banda adalah segala sesuatu yang berada di alam hidup yaitu di bumi dan atmosfer, baik makhluk hidup maupun benda mati. Sinonim dari banda adalah harta. Indung berarti ibu atau Bumi, disebut juga sebagai Ibu Pertiwi tempat banda berada.
Dari Bumilah semua dilahirkan ke alam hidup sebagai banda. Segala sesuatu yang berada di alam hidup adalah banda indung, yaitu Bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia dan segala isi perut Bumi. Langit yang berada di luar atmosfer adalah tempat yang menyaksikan, Nu Nga-Bandung-an. Yang disebut sebagai Wasa atau Sang Hyang Wisesa, yang berkuasa di langit tanpa batas dan seluruh alam semesta termasuk Bumi. Jadi kata Bandung mempunyai nilai filosofis sebagai alam tempat segala makhluk hidup maupun benda mati yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi yang keberadaanya disaksikan oleh Yang Maha Kuasa.
Lantas, kenapa Bandung kerap dijuluki Kota Parahyangan? Dari laman Wikipedia dijelaskan bahwa Priangan atau Parahyangan sering diartikan sebagai tempat para rahyang atau hyang. Masyarakat Sunda kuno percaya bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi. Maka, wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat hyang bersemayam.
Parahyangan berasal dari gabungan kata pa-rahyang-an. Pa menunjukkan bentuk awalan pa dalam basa Sunda yang bermakna tempat, rahyang atau hyang atau yang adalah sebutan untuk raja agung atau dewa, sedangkan akhiran -an menunjukkan bentuk kata benda dari kata “Parahyangan” yang berarti “tempat dewa-dewa.”
Itulah Bandung yang kini tersesaki oleh para penghuni di dalamnya serta infrastruktur yang saling berlomba, bagai ingin melenyapkan jejak-jejak peradaban Bandung Purba. Dan dengan morfologi wilayahnya yang berada di cekungan, Bandung dikelilingi gunung hampir berada di seluruh penjuru mata angin.
Menariknya gunung, meski kini gunung-gunung di Bandung hanya sebatas menjadi “penjaga” dari Kota Bandung yang notabene merupakan ibu kota dari Jawa Barat, penghargaan masyarakat Sunda terhadap gunung itu sendiri tak termakan oleh hiruk pikuknya zaman hi-tech. Ini dibuktikan dengan masih dilangsungkannya budaya atau tradisi Ngertakeun Bumi Lamba yang digelar di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, pertengahan Juni lalu, tepatnya tanggal 24 Juni 2018.
Pertengahan Juni lalu, ratusan orang larut dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba yang digelar di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang. Ngertakeun Bumi Lamba adalah kegiatan ritual tahunan yang digelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali dari paling utara Bumi menuju selatan. Setiap bulan Kapitu (bulan ke-7) dalam hitungan Suryakala, kala ider (kalender) Sunda.
Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara menjalankan pesan kasepuhan, yang menitipkan tiga gunung sebagai paku alam (harus diperlakukan sebagai tempat suci). Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede adalah amanat yang harus dijaga sebagai tempat “kabuyutan.”
Upacara adat ini juga dilakukan sebagai wujud terima kasih dan cinta dari manusia untuk alam. Kita harus menyejahterakan alam dan diri kita sendiri karena kita akan berpulang dan tinggal di bumi ageung (alam semesta) dan bumi alit (diri sendiri).
Berdasarkan falsafah hidup dan aturan dasar adat istiadat, upacara ini merupakan manifestasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan pencipta-Nya. Rajah atau medium tentang pandangan hidup urang Sunda. Budaya leluhur Sunda telah mengajarkan masyarakat untuk bersahabat dengan alam.
Dalam filosofi hidup masyarakat Sunda ada dikenal Mulasara Buana yaitu memelihara alam semesta. Visi hidup yang terbentuk dari perlunya menjaga keseimbangan alam dari berbagai perilaku yang cenderung mengeksploitasi alam berlebihan. Gunung berapi merupakan sumber kehidupan masyarakat Sunda, sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah “guru nu agung” atau guru besar.
Ceritanya, zaman leluhur dulu, Gunung Tangkuban Parahu dipercayai sebagai gunung terbesar di jagad raya ini sehingga diagungkan oleh penganutnya. Dengan pernah meletusnya gunung agung ini, bertambahlah kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan untuk semakin menjaganya karena mereka menganggap alam telah murka. Kerusakan dan kemusnahan alam cenderung dianggap akibat perbuatan manusia yang berlebihan. Akibatnya, Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Sanghyang Keresa atau Sanghyang Widhi) bereaksi dengan memusnahkan sebagian alam yang tidak terjaga baik. Untuk menjaga kestabilan alam para penganut Sunda Wiwitan, ritual Upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan di Tangkuban Parahu.
Inti upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah bentuk terima kasih dan pengingat pada setiap orang bahwa kesucian gunung adalah sumber utama kehidupan makhluk. Gunung adalah paku bumi di semesta ini. Gunung sumber spiritual dan budi pekerti yang mendasari perilaku berbudaya bagi umat manusia.
Pesan tersiratnya adalah mendesak manusia untuk mengubah sikap terhadap lingkungan. Lebih arif terhadap alam sebagaimana yang dilakukan leluhur sejak dulu. Terlebih, Masyarakat Sunda membagi hutan dalam kawasan gunung dalam tiga kategori: leuweung larangan (hutan keramat), leuweung tutupan (hutan lindung), dan leuweung baladaheun (hutan titipan). Bila diinterpretasikan, ini merupakan petuah mengelola alam dengan kebijaksanaan sekaligus mengenal batas-batas yang diajarkan nenek moyang.
Karena itulah sampai saat ini masih bisa kita temui keberadaan artefak yang merupakan bagian tak terpisahkan dari lanskap Bandung Raya. Keberadaan artefak di sekitar Bandung pertama kali diketahui oleh para ahli pertambangan Hindia Belanda yang berkantor pusat di Bandung. Dr. A.C. de Jongh, pimpinan Dinas Pertambangan sekitar tahuan 20-30-an, menemukan situs pecahan obsidian di suatu bukit Dago-Pakar, tugu triangulasi KQ 380 (sekarang disebut Bukit Kordon).
Keberadaan aftefak ini ditindaklanjuti dengan suatu penelitian di seluruh daerah Bandung oleh Dr. G.R. von Koenigswald, yang juga seorang paleoantropologi yang terkenal dengan penemuan manusia purba di Jawa. Hasil penelitian kemudian dipublikasikan oleh Koenigswald pada tahun 1935. Menariknya, ditemukan pula artefak seperti kapak batu yang sudah dipoles. Asalnya bukan dari obsidian tetapi dari batu jenis lain, seperti calchedon dan batu kwarsit.
Selain itu ternyata artefak-artefak obsidian ini bukan sekedar jenis pecahan (splitter, chips). Banyak yang telah dibentuk menjadi ujung anak panah, pisau, penyerut, mata bor, dsb. Umumnya berukuran kecil dan tanpa pemolesan. Karena itulah digunakan istilah budaya mikrolit (microlith culture). Selain kapak batu yang dipoles juga ditemukan batu tumbuk (mungkin yang dimaskud mutu), batu asah, bahkan gelang-tangan batu.
Atau kita ambil contoh Gunung Kendeng. Gunung tersebut dalam bahasa Sunda berarti jajaran gunung-gunung nu méh pasambung. Diartikan juga sebagai urat nadi bumi. Kendeng oleh Belanda diterjemahkan dengan “bergketen” yang dalam bahasa Inggris (US) umum equal dengan istilah “sierra.” Jauh sebelum kepulauan Indonesia dari Papua hingga Aceh dikenal dengan nama “Nusantara,” kepulauan ini disebut “Nusakendeng.” Gunung tertinggi di Bandung Raya, atau Mount Everest-nya gunung di Bandung, demikian pendaki gunung memberikan julukan pada gunung ini. Nama asli gunung ini adalah “Kendeng” menggunakan huruf “e.”
Di Bandung Raya sendiri kurang lebih terdapat tiga gunung berbeda yang memiliki nama “Kendeng”, di antaranya di Sukasirna, Gununghalu, dan Kertasari. Jadi untuk memudahkan, gunung ini lebih populer dengan penamaan “Kendang.” Dalam beberapa riset pustaka, gunung ini telah ditulis sejak pertengahan abad ke-19 atau sekitar 1840-an oleh orang-orang Eropa yang tinggal di Nusantara. Sementara itu penamaan “kendeng” telah lama dikenal oleh masyarakat Sunda.
Oleh masyarakat Bandung (Kertasari dan Perkebunan Sedep) gunung ini (masih) disebut Gunung Kendeng. Penamaan tersebut diabadikan melalui penamaan sebuah afdeling (wilayah dalam sebuah perkebunan). Gunung Kendeng (Kendang) telah dicatat pula oleh Jonathan Rigg (1862). Dalam karya leksikalnya, “Gunung Kendang” diartikan sebagai gunung yang memanjang.
Maka teaser film yang diadaptasi dari buku Pepep DW yang berjudul “Gunung Bandung: Sejarah, Lanskap, Budaya” menjadi menarik. Film ini nantinya tentu akan membawa masyarakat, khususnya masyarakat Kota Bandung, untuk kembali ke zaman-zaman awal ketika kota mulai terbentuk. Masyarakat bisa melihat keajaiban Kota Bandung beserta kemegahannya yang tersisa. Apalagi film ini sekaligus menjadi sebentuk kampanye mengenai kesadaran manusia terhadap alam sekitarnya.
Pasalnya, film ini direncanakan akan terdiri dari tiga bagian, yakni mengenai hutan yang terluka, mengkaji dan mengkampanyekan Danau Ciharus, serta menelisik keberadaan Gunung Kendeng dan artefak nusantara.
Film ini, langsung atau tidak, ingin mengatakan bahwa Bandung tanpa gunung adalah ketiadaan, kenihilan, bahkan tidak mengenal kehidupan. Dan menurut sang penulis, Pepep DW, tanpa gunung-gunung, Bandung bukanlah apa-apa. Artinya, gunung bukanlah pasangan untuk melengkapi Bandung, melainkan gunung adalah alasan tersendiri hingga Bandung menjadi ada.
Bandung adalah sebuah romantisme dan keindahan, bercampur dengan legenda dan mitos dengan berbagai peradaban yang menyelingkupinya. Kini, saatnya Bandung berbicara lewat film dokumenter ini dan mengabarkan pada masyarakat di luar sana bahwa Bandung bukan hanya sekadar kota romantis belaka, namun juga merupakan kota dari mana titik peradaban budaya Sunda menyebar. яндекс Semoga!
I like the helpful info you provide on your articles.
I will bookmark your weblog and check again right here regularly.
I’m reasonably sure I will learn lots of new stuff proper
right here! Best of luck for the following!
Oh my goodness! Awesome article dude! Thank you, However I am having problems with your RSS.
I don’t understand the reason why I am unable to join it.
Is there anybody having the same RSS problems?
Anykne who knows the answer will you kindly respond? Thanks!!
Thanks for a marvelous posting! I certainly enjoyed reading it, you are a great author.I will be sure to bookmark your blog and will come
back someday. Iwant to encourage one to continue
your great job, have a nice morning!
Kitap Satan En Güzel Yeni Çıkan Kitaplar
Hi there! Such a great post, thank you!
Hi, thank you.