Jangan beri tahu aku seberapa berpendidikannya kamu,
beri tahu aku seberapa banyak kau telah melakukan perjalanan.
–Nabi Muhammad SAW
Sampai saat ini, mungkin dunia petualangan tak mengenal siapa yang pertama kali mencetuskan istilah “pendaki” beserta penjabarannya. Namun bisa saja istilah pendaki mulai populer sejak frasa “Pencinta Alam” dicetuskan sekitar tahun 60-an seiring berdirinya organisasi Mapala UI dan Perhimpunan Wanadri.
Tak ada yang bisa secara tepat mendefinisikan arti dari kata pendaki itu sendiri. Masing-masing orang, apalagi jika dia seorang pencinta alam, terkadang memiliki versinya sendiri-sendiri, sesuai dengan proses petualangan yang dia alami. Mungkin, mencari definisi kata pendaki sama saja seperti kita mencari tahu alasan seseorang hobi naik gunung.
“Mau apa naik gunung? Sudah sampai puncak, turun lagi! Cape-capein saja, belum kedinginan, kehujanan, kepanasan!” Alasan-alasan itu yang kerap kita dengar dari orang-orang yang tak menyukai hobi tergolong ekstrem ini. Tapi coba tanyakan pada orang-orang yang hobi mendaki gunung; beribu alasan kenapa mereka suka mendaki akan terjawab dengan gamblangnya. Namun untuk menjawab secara tepat kenapa seseorang mendaki gunung, jawabannya relatif. Tergantung dari pengalaman apa yang dia dapat saat mendaki pertama kali.
Mencari arti pendaki, pendaki mencari arti
Legenda-legenda pendaki gunung seperti, Edmund Hillary, Reinhold Messner, George Mallory atau, misalnya, (Alm.) Norman Edwin, Soe Hok Gie, dan lain-lainnya, pasti mempunyai alasan tersendiri kenapa mereka begitu menyukai naik gunung. Kenapa mereka terus dan terus mendaki gunung hingga akhirnya harus menghembuskan napas dalam pelukan gunung yang dingin. Tak ada jawaban pasti. Semuanya memiliki definisi yang relatif.

Begitu juga dengan istilah pendaki. Beberapa orang mengartikan pendaki sebagai pencari. Lainnya barangkali menganggap pendaki sebagai penempuh rimba, penjelajah, orang yang melakukan penelitian bersifat ilmiah. Bahkan ada juga yang mengartikan lebih nyeleneh, bahwa pendaki itu adalah singkatan dari “pejalan banyak daki.” Tapi, bagi saya, semua itu sah-sah saja, karena semua orang bebas dalam mendefiniskan arti dari kata-kata mendaki itu.
Namun jika kita mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pendaki adalah orang yang mendaki. Jika berpijak pada definisi itu, bisa saja terjemahan bebasnya menjadi seperti ini; bahwa pendaki gunung dapat dikatakan sebagai orang yang gemar atau memiliki hobi melakukan kegiatan mendaki gunung. Mereka tidak memiliki motivasi lain selain hanya sekadar melakukan kesenangannya sendiri yakni mendaki gunung, mencari ketenangan, udara segar, kebersamaan, atau hanya sekadar menikmati keindahan alam, baik secara individual maupun secara berkelompok.
Apapun itu, mendaki memiliki filosofi tersendiri yang bebas diterjemahkan oleh masing-masing orang. Pendakian adalah sebuah perjalanan yang kaya akan pelajaran, dan mendaki merupakan jalan untuk mengenali dan memperbaiki diri.
Dan jika bicara mendaki tentu ada objek dari pendakian itu sendiri, yakni gunung. Dalam Sunda, arti kata “gunung” kerap diterjemahkan sebagai GUru Nu AguNG. Pada masa klasik, bagi masyarakat Sunda, gunung menduduki tempat tersendiri pada sistem religinya. Di masa itu, gunung memiliki peranan sendiri dalam sistem masyarakat dan juga agama. Ini artinya keberadaan gunung tak bisa jauh dalam konteks kehidupan masyarakat terdahulu.
Dalam berbagai literatur tentang gunung, banyak disebutkan jika gunung-gunung yang ada di Nusantara ini berabad-abad lampau telah banyak yang didaki. Hal ini diyakini juga oleh Junghuhn, seorang zoologist dari Belanda (sebelumnya berkebangsaan Jerman), yang mengalami hal ini secara langsung. Junghuhn dan para pendaki Eropa lainnya dikejutkan dengan temuan berupa bekas-bekas kegiatan manusia di kawasan sekitar hutan Gede-Pangrango. Di sekitar kawah yang baru ditemuinya itu, mereka menemukan patilasan (jejak) berupa batu-batu yang dipercaya sebagai makam nenek moyang masyarakat setempat.
Gunung sebagai simbol pendakian spiritual
Ini artinya, gunung menempati posisi dan peran penting dalam berbagai agama. Ada agama-agama yang percaya bahwa gunung adalah tempat disampaikan atau diungkapkannya ajaran agama, atau tempat turunnya guru atau pendiri agama mereka dari surga. Agama-agama lain menganggap gunung sebagai simbol pendakian spiritual. Oleh karena itu para penganut agama menjadikan gunung sebagai tempat suci dan sebagai tujuan dharma yatra (ziarah). Juga Gunung Kaliasa (Kailash) di India, dipandang sebagai tempat suci oleh empat agama, yaitu Hindu, Buddha, Jain, dan Bon.
Di Indonesia, dikenal juga beberapa gunung yang dianggap sebagai tempat suci, seperti Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Batukaru, Gunung Semeru, Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Salak. Status sebagai tempat suci membuat gunung terlindungi dan terpelihara dari perusakan dan pencemaran. Oleh karena itu, gunung suci juga terjamin sebagai sumber air yang sangat penting bagi pertanian khususnya dan kehidupan umumnya.
Kita ambil contoh Gunung Agung di Bali. Dalam penelitiannya di Bali, Stuart-Fox (2010, dalam Mudana et al., n.d.) menyatakan, mitos tentang asal usul Gunung Agung sering dikaitkan dengan Hinduisasi yang menghubungkan bagaimana gunung tersebut dibawa dari India ke Pulau Jawa dan Bali. Puncak gunung dianggap sebagai kawasan suci dan merupakan tempat bersemayamnya para penjaga kehidupan, bumi, dan roh para leluhur yang telah menganugerahkan kemakmuran bagi umat manusia, atau mengambil kembali dengan kemurkaannya membawa kematian dan kehancuran bagi dunia.

Mitos Gunung Agung dipercaya merupakan pecahan dari Gunung Mahameru, dan dalam metafora genekologis ini dewa dari Gunung Agung merupakan putra dari dewa Gunung Mahameru, yakni Dewa Pasupati. Salah satu nama dewa Gunung Agung, Putrajaya (atau Putranjaya) secara jelas mengungkapkan hubungan anak ini, sementara namanya yang lain Mahadewa, adalah salah satu julukan bagi Siwa, menunjukkan statusnya yang paling tinggi dalam Hinduisme di Bali. Gunung Agung merupakan gunung tertinggi di Bali. Gunung Agung mendapatkan posisi yang sangat spesial dalam masyarakat Hindu, khususnya di Bali.
Di tengah gunung yang disucikan ini terdapat Pura Pasar Agung dan di kakinya berdiri Pura Besakih sebagai pura terbesar di Bali. Bahkan di puncak Gunung Agung, yakni di kawasan kawahnya, ada semacam tempat yang disucikan bernama Puser Tasik yang merupakan tempat mulang pakelem (upacara melarung sesajian). Puser tasik (puser = pusat, tasik = garam) dapat dimaknai secara harfiah sebagai “pusat garam” karena ada kepercayaan bahwa lobang kepundan Gunung Agung tembus dengan laut (tempat garam) sesuai paradigma segara-gunung (segara = laut, gunung = gunung) dalam sistem budaya masyarakat Bali. Pura Besakih yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, ini dikategorikan sebagai Sad Kahyangan, jadi ia adalah salah satu dari enam pura utama yang ada. Lima lainnya adalah Pura Lempuyang di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem; Pura Uluwatu di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; Pura Goa Lawah, Kabupaten Klungkung; Pura Batukaru, Kabupaten Tabanan; Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik), Desa Pejeng, Keacamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.
Mendaki gunung sebagai wujud “Iqra’” dalam Islam
Dalam Islam sendiri, kegiatan mendaki gunung jika dilakukan dengan penuh penghayatan adalah sebagai salah satu wujud Iqra’ kita kepada ayat-ayat Allah SWT. Hakikatnya, usaha mencintai alam bermuara pada mengenal dan mencintai sang pemilik alam, yaitu Allah SWT. Agak sulit rasanya ketika kita akan mendapatkan nuansa yang akan membawa perasaan kita pada perenungan tentang alam raya, jika nyatanya melakukan pendakian dalam sorak sorai dan gemuruh hiruk pikuk yang melenakan.
Sebagaimana Ibrahim AS, Rasulullah Muhammad SAW pun mendapatkan wahyu pertama melalui Jibril—juga sebelumnya telah melalui perenungan yang dalam tentang konsep penciptaan alam semesta. Baginda Rasulullah ber-tahannuts di Gua Hira’ sekian lama sebelum Allah SWT mengutus malaikat Jibril AS untuk menyampaikan wahyu pertama-Nya.
Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, Dan Tuhan-mulah Yang Maha Mulia
Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam ( pena )
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak di ketahuinya.
( QS Al’alaq: 1 – 5 )
Dan pengertian Iqra’: “Bacalah” pada ayat di atas bukanlah semata-mata membaca seperti pengertian harfiah yang kita pahami, namun membaca yang dimaksud adalah juga mencakup melihat, memperhatikan, mendengar, merasakan, mengamati, memikirkan, dan merenungi jagad raya ciptaan Allah Sang Khalik. Kita diminta oleh Allah SWT untuk merenungi kejadian alam semesta ini, bagaimana bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, dan langit ditinggikan, agar kesemuanya ini membawa kita pada bentuk kesadaran tentang betapa Maha Perkasa dan Maha Agungnya Allah. Dengan kesadaran semacam ini, kesombongan dan keangkuhan kita sebagai manusia yang merasa hebat dan merasa kuat akan dapat segera dikikis.

Akhirnya, terlepas apapun itu soal mendaki gunung, baik itu untuk olah raga, hobi, atau pun keilmuan kembali ke hakikatnya masing-masing. Namun yang patut diyakini, dengan mendaki seseorang dapat mendekatkan diri pada Illahi Rabbi, lewat ciptaan-Nya yang terhampar luas. Bukankah dalam kitab sucinya, Al-Quran, Allah SWT menjelaskan soal tujuan penciptaan gunung beserta alam raya ini? Bukalah QS Nuh: 19-20, di mana Allah berfirman, “Allah telah menjadikan bumi terhampar luas untukmu, agar kamu dengan bebas meniti jalan-jalan yang terbentang di bumi.” Atau dalam QS An Naazi’aat: 32, lebih detail lagi Allah bicara soal ini. Katanya, “Gunung-gunung pun Ia pancangkan, untuk kesenanganmu” (QS An Naazi’aat: 32).
Begitulah gunung diciptakan dan untuk tujuan itulah seharusnya para pendaki gunung mendaki. Pada tataran tertentu, para pendaki gunung sebenarnya adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Jadi, bisa dibilang orang-orang yang berguru pada alam itu sesungguhnya telah berguru pada Sang Maha Guru yang lebih banyak memberi dan tak pernah meminta.
Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, alam adalah medianya. Nabi Musa saja harus mendaki Gunung Sinai ketika akan mendapatkan Taurat. Nabi Muhammad juga harus mendaki bukit (jabal) dan tinggal di Gua Hira’ yang tidak mudah digapai sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama. Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.
Jadi, kegiatan mendaki gunung harus memiliki tujuan yang jelas agar kegiatan yang kita lakukan tidak sia-sia. Dengan mendaki gunung kita akan merasakan kedekatan dengan alam yang pada akhirnya akan mengantarkan kita kepada kedekatan diri kita dengan Tuhan. Dengan mendaki gunung kita akan belajar ilmu agama yang jauh lebih tinggi, yakni ilmu hakikat diri. Hal-hal seperti ini sesungguhnya sudah dibuktikan oleh para nabi dan kaum petapa yang gemar sekali mendaki gunung untuk sekadar bertapa dan menyendiri guna mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dengan menyendiri di gunung-gunung selama beberapa hari bahkan sampai berbulan-bulan atau bertahun-tahun, mereka merasakan kedekatan dengan Tuhannya, sampai pada akhirnya mereka dikaruniai beberapa ilmu yang tak semua orang bisa mendapatkannya: hakikat.
Dan ini sesuai dengan ucapan para hukamah atau sufi bahwasanya jika kita mampu mengenali diri sendiri, kita akan memahami betapa ciptaan Allah SWT begitu luas membentang, perkasa dan tak tertandingi. Dengan begitu, perjalanan mendaki akan makin mendekatkan diri pada Ilahi. Semoga!