Pagi itu cerah saat kami baru saja mendarat di Bandar Udara Internasional Lombok. Waktu belum menunjukkan pukul 9.05 WITA, lebih cepat dari jadwal yang seharusnya.
Rasa capek masih saya rasakan. Bukan karena lamanya perjalanan yang saya lalui dari Pemalang, namun karena waktu tidur yang singkat. Semalam kami harus mengurus barang-barang yang akan dibawa ke Lombok.
Dari Jakarta kami terbang jam 5.45 WIB. Namun, kami mesti ke bandara jam 2.30 pagi untuk mengurus bagasi pesawat.
Perjalanan kami kali ini bukan untuk berwisata atau bersenang senang. Kami ke Lombok untuk mengantarkan bantuan yang kami kumpulkan, sekalian meluangkan waktu sejenak membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah gempa bumi di Lombok.
Saya dan kawan-kawan baru saja turun dari Semeru ketika mendengar kabar bahwa Lombok diguncang gempa pada 29 Juli 2018 yang lalu. Sesampainya di Base Camp Ranu Pani, saat membuka ponsel sudah banyak beredar video pendaki yang terjebak di Gunung Rinjani akibat gempa yang berpusat di Kota Mataram itu.

Tidak banyak yang bisa kami lakukan saat itu, hanya berdoa semoga para korban dan pendaki yang terjebak di Gunung Rinjani baik baik saja. Rupanya gempa tidak berhenti di situ. Kemudian gempa susulan terus-menerus terjadi. Tanggal 5 Agustus 2018 kemarin bahkan terjadi gempa dengan kekuatan yang tidak kecil—7 skala Richter.
Istirahat sebentar di Rumah Singgah Backpacker
Dari bandara, kami menuju Rumah Singgah Backpacker yang jadi posko utama di Mataram. Di sana kami akan bersiap-siap sebelum ditempatkan di posko yang sudah mereka buka di lokasi bencana.
Namun sebelum itu kami harus menunggu teman-teman yang berangkat dari Malang, Makassar, dan Jogja yang akan ikut bergabung bersama kami di Lombok. Dari Jakarta kami memang hanya bertiga, yakni saya, Heni dari Banten, dan Fatihah dari Indramayu. Tri dari Makassar; Fitri, Ibu Pri, dan Fitriana dari Magelang; dan Phila dari Malang kemudian datang menyusul dan bergabung sebagai relawan independen.
Hari sudah malam ketika Bang Jack, Bang Sistim, dan beberapa kawan menjemput kami. Kami sempat mengobrol tentang situasi di Lombok, bagaimana assessment korban terdampak, dan bagaimana pergerakan mereka (para relawan).

Setiba di rumah singgah, Mamak dan Bapak serta kawan-kawan langsung menyambut kami yang kucel setelah seharian menghabiskan waktu di Praya menunggu rombongan terakhir. Tidak banyak yang kami lakukan di hari pertama itu. Kami hanya menunggu jemputan dan men-drop bantuan yang kami bawa di Rumah Singgah Backpacker.
Lagian, begini kata Bang Jack tadi via chat, “Bersenang-senanglah dulu dan kumpulkan tenaga.”
Menuju Lombok Utara
Hari kedua kami mulai dengan menuju posko yang ada di Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.
Selama perjalanan menuju lokasi, saya disuguhi pemandangan yang sangat memilukan. Banyak sekali rumah yang roboh serta posko pengungsian. Situasi yang tidak saya bayangkan sebelumnya.
Bang Sistim yang mengantar kami bilang, kalau di sini (Mataram) masih banyak rumah yang berdiri. Pengungsi itu hanya takut, cuma berjaga-jaga seandainya ada gempa susulan. Beda cerita dengan lokasi yang akan saya tuju. Di sana katanya hampir semua bangunan rata dengan tanah. Pengungsi di posko benar-benar sudah tidak memiliki rumah.
Kemudian terbuktilah apa yang dibilang Bang Sistim. Menjelang tiba di lokasi, saya mendapati bahwa hampir semua rumah hancur. Posko dan pengungsi ada di mana-mana.

Lalu kami memasuki sebuah gang. Ternyata posko kami tidak berada di pingir jalan, namun di sebuah desa yang—andai saja tidak berada dalam kondisi seperti ini—pasti sebenarnya asri.
Fitri dan dua kawan dari Magelang sudah sibuk di dapur umum. Mereka berangkat lebih pagi bersama rombongan lain. Saya pun menyesuaikan diri, melihat situasi, dan ngobrol dengan beberapa relawan lain.
Koordinator lapangan posko ini adalah Bang Manol dari Jember, Jawa Timur. Ini adalah posko relawan dari berbagai daerah di Indonesia, para relawan independen yang tidak membawa bendera apa pun, yang menyebut dirinya RRI (Reuni Relawan Indonesia). Entah bagaimana atau siapa yang menciptakan, mereka punya semboyan: “Kami bukan siapa-siapa, namun kami siap untuk siapa-siapa.”
Berdasarkan obrolan singkat dengan korlap dan beberapa relawan kami pun memposisikan diri. Saya di bagian PU untuk membantu apa pun yang diperlukan dan bisa saya saya lakukan, sedangkan yang lain bergabung dengan bagian Trauma Healing (TH) bersama Naga dari Pematangsiantar, Abim dari Bima, dan beberapa relawan lainnya.
Melihat keceriaan di mata anak-anak
Selama beberapa hari di sana saya melihat mata-mata kesedihan. Bagaimana tidak, selain rumah, semua fasilitas umum pun hancur rata dengan tanah. Untuk sekolah, bahkan untuk beribadah pun, mereka harus membuat bangunan darurat dengan terpal. Tidak ada toilet layak di posko kami, hanya bekas toilet pesantren yang kami tutup dengan terpal.
Hari pertama, dapur umum kami harus memasak untuk sepuluh posko kecil di desa itu (sekitar 1000 orang). Aktivitas dapur hampir tidak pernah putus dari pagi sampai malam. Setiap malam dilakukan evaluasi sampai akhirnya kami memutuskan untuk dropping logistik mentah untuk masing-masing posko. Wajah-wajah lelah mulai tampak. Maklum, mereka sudah ada di sana jauh sebelum saya datang.
Selain membantu mengurus logisti, saya juga sering melakukan aktivitas di dapur umum. Jika ada waktu senggang saya mencoba bergabung dengan TH untuk bermain dengan anak-anak.

Senang rasanya melihat keceriaan mereka, melihat wajah-wajah penuh harapan anak-anak polos yang seharusnya tidak menyaksikan kesedihan ini. Melihat keceriaan anak-anak itu, saya merasa salut dengan kakak-kakak pendmaping mereka: Naga yang masih muda namun banyak sekali pengalamannya, Abim yang sangat menyukai anak-anak dan concern terhadap pendidikan anak, Hercules yang sabar, dan beberapa relawan TH lainya.
Meskipun hanya mendampingi anak-anak, saya melihat tugas ini bukan tugas yang ringan. Mereka harus sabar menghadapi tingkah anak-anak yang kadang susah sekali diatur, apalagi anak-anak dalam jumlah yang banyak.
17 Agustus di Pengungsian
Seperti sore ini, misalnya. Selesai dengan anak-anak, para relawan TH masih harus memikirkan dan mempersiapkan acara 17 Agustus di posko.
Meskipun dalam situasi bencana, kami merasa acara 17 Agustus, seperti lomba dan upacara bendera, tetap harus kami lakukan. Beberapa teman mempersiapkan konsep lomba dan beberapa lagi mempersiapkan upacara bendera.
Setelah semalaman persiapan acara 17 Agustus, pagi itu saya memulai aktivitas dengan membantu tim TH untuk membuat pameran karya anak-anak yang sebelumnya sudah dibuat. Mereka dipandu Abim dan tim TH untuk membuat karya dalam bentuk lukisan atau ungkapan. Karya ini akan dipamerkan dan kami para relawan akan mengapresiasi yang menurut kami bagus.
Anak-anak di desa sudah sangat akrab dengan kami para relawan. Semula mereka memang malu-malu dan sungkan untuk bergabung. Namun sekarang mereka sudah mulai semangat ikut berkumpul dan datang pagi hari. Kadang mereka bahkan datang terlalu pagi sehingga kami yang masih istirahat pun mereka bangunkan.

Acara 17 Agustus dan perlombaannya memang berlangsung sederhana, namun meriah. Anak-anak begitu antusias, meskipun di sekitar mereka ada puing-puing rumah yang hancur. Saya merasa senang melihat mereka tertawa dan gembira. Paling tidak mereka bisa melupakan sejenak kesedihan yang mereka alami.
“Besok kalau sudah besar aku mau ke rumah Kakak”
Tidak terasa sudah seminggu saya berada di Lombok. Saya memang tidak berencana lama di sana. Saya sudah berniat untuk merayakan Idul Adha di rumah.
Satu per satu relawan pun sebenarnya sudah mulai pulang, termasuk beberapa orang dari Jawa Timur. Setiap kali ada relawan yang akan pulang, anak-anak selalu berkumpul dan menanyakan apakah kami benar akan pulang dan kapan kami akan kembali. Sedih rasanya melihat ekspresi mereka ketika itu. Namun, bagaimanapun juga satu per satu dari kami harus kembali ke dunia masing-masing.
Sebuah dialog terjadi sesaat sebelum saya pulang. Salah seorang anak dengan memegang buku IPS bergambar peta bertanya sambil menunjuk peta, “Kak, rumah Kakak di mana?” Sambil menujuk peta pula, saya jawab, “Di sebelah sini?”
Kemudian satu per satu mereka menanyakan di mana tempat kami tinggal, sampai akhirnya salah seorang dari mereka bilang, “Besok kalau sudah besar aku mau ke rumah Kakak.” Sedih dan terharu saya mendengar itu. Semoga gempa ini lekas berakhir agar Lombok bisa segera kembali pulih.